Peta Hidup dan Hidup
Sembilan kotak tersebut hanya satu bagian
dari peta hidup yang pernah kubuat ketika duduk di kelas 11 SMA. Tentu bukan atas
inisiatifku sendiri. Aku bersyukur, salah satu guru akidah-akhlakku, Bapak Away
menyuruh kami semua, murid-muridnya, untuk membuat peta hidup yang mewakili
rencana-rencana pencapaian dan stages yang kami harap kami tengah geluti
di setiap perubahan angka usia. Jujur, ketika membuatnya, I was lost. Aku
benar-benar nggak tau apa yang bakal aku lakukan dalam hidup. Nampaknya selama
ini aku hanya mengikuti kemana angin berhembus. Ditampar hal-hal macem
begini emang selalu menyegarkan.
Seperti yang teman-teman semua bisa
liat, di kotak 2017 (usia 19) kutulis “AUSSIE; university life started”. Sejak
kecil, aku tertarik dengan Australia dan Belanda sebagai destinasi tempat
meneruskan jenjang perkuliahan. Apa alasannya? Sesederhana ini; ‘Dhina nggak
mau kuliah di Asia. Nanti sama kaya Mas Ardhi. Nggak ada tantangannya.’ jawab
dhina di 2014. Kalau aku bisa kembali dan bertemu dhina 2014, tentu akan aku
tepuk pipinya sambil berkata ‘nduk, nduk, sombong men kowe..’ wkwkwk.
Lalu tiba-tiba sekarang (nggak
tiba-tiba sih, dhin) aku terdampar di negeri sakura meneruskan pendidikan bachelorku.
Dan aku baru sadar sekian minggu yang lalu-ketika menemukan peta hidup ini di
kamar tidurku di Bandung- bahwa dulu, Jepang sempat ku blacklist dari
daftar Negara yang ingin aku tuju. Nggak ada tantangan? Duh pengen
kujitak rasanya si dhina 2014.
Di penghujung kelas 11 aku berkonsultasi
dengan seorang guru tentang keinginanku menuntut ilmu di Australia. Berdasar
kepada fakta mengenai kesempatan beasiswa yang kecil, dsb, jawaban beliau-untuk
saat ini tidak mungkin-mematahkan hatiku saat itu. Tapi ternyata luka (eak) itu membawaku ke plan
B, C, D yang sebenarnya sama sekali tidak lebih buruk.
Aku jadi belajar sesuatu.
Kita nggak pernah tau apa yang takdir bawa
untuk kita, tapi kita berperan dalam pembentukannya. Kita bisa berencana dan jadi se-ideal mungkin
dengan rencana kita, tapi ada banyak
sekali variable yang kita tidak bisa lupakan. Situasi, kapasitas, relasi, dan
teman-temannya adalah contohnya. Kata ‘realistis’
tidak seharusnya berperan sebagai alibi ketika sesuatu yang kita rencanakan nampak
mustahil. Ia justru menjadi supporter nomer satu karena dengan menjadi
realistis kita jujur pada diri sendiri, hal apa yang harus kita benahi dan kita
masih perlukan lebih untuk mencapai suatu goal.
Nah kan sekarang bingung closingnya
gimana. -.-
2.25 JST
Kamar
Sambil kelaparan
Dhina
Kamar
Sambil kelaparan
Dhina
Komentar
Posting Komentar