Ketika Cinta Lama Bersemi Kembali

"Aku pernah mencintainya, dalam lantunan nafas yang tiada henti.

Aku pernah mencintainya, dengan asa yang tiada terputus.

Aku pernah mencintainya, diiringi khayal yang tiada jemu, untuk secara utuh dapat merengkuh.

Aku pernah mencintainya, secara sempurna."




Itu dulu-lebih dari 6 tahun yang lalu-. Saat dia masih menjadi prioritas puncak bagi saya. Saat saya belum banyak menemukan perihal lain yang ternyata bisa sedahsyat itu merenggut posisinya. Baik di relung hati, maupun porsi akal saya. Semesta mendukung cinta saya kepadanya.

Kalau sekarang dipikir kembali, bahkan saya sulit percaya bahwa dulu, dia pernah masuk sedalam itu dan menjadi sepenting itu dalam kehidupan saya. Mengingat dulu rasanya senang sekali, dalam setiap harinya bisa berjam-jam bercengkerama dengan dia, bercanda, saling memberi nasihat;eh tunggu, ralat! Dia yang selalu memberikan saya nasihat. Saya selalu bahagia, menjadi pendengar yang manggut-manggut, tersihir dengan untaian kata sarat makna yang selalu berhasil ia hadirkan untuk saya. Kata-kata indah penuh hikmah yang membuat saya semakin terpacu menjadi insan yang baik. Yang selalu berhasil menyelinap ke dalam bilik-bilik hati yang tertutup rapat.

Masa SMP tiba, kegiatan organisasi, tuntutan akademik, dan kegiatan lainnya membuat saya kesulitan membagi waktu pada awalnya. Ia terabaikan, namun tiada beranjak. Tetap berada disana, memandang saya dari kejauhan, sambil tersenyum. Saya semakin berlarut-larut dalam seluruh hidup saya yang baru. Ia seakan bergerak mundur namun tidak meninggalkan saya. Ia tersapu desir angin dan terhalangi lalu lalang para insan dunia lainnya. Ia tetap tersenyum kepada saya, sambil menggumam pelan “Jangan lupa kembali ya, dhina..”
Jenjang pendidikan selanjutnya, tantangan yang hadir jauh lebih luar biasa. Lalu apa kabar dia? Taukah..  Saya bahkan hampir lupa sepenuhnya. Ralat;bukan lupa- tapi mulai berpikir untuk melupakan  saja. Menggeser posisinya  dan berfokus pada hal yang lainnya. Saya punya segudang aktivitas dan dia bisa jadi hanya merenggut waktu saya saja.  Saya semakin jarang berinteraksi dengannya. Saya pikir, ya seperlunya saja-masih cukup. Toh, Ia tidak pernah marah. Tapi tak disangka, disetiap kali air mata saya terjatuh, dia yang selalu menenangkan saya, bahkan ketika orang tua saya  jauh dari pandangan mata. Disetiap kali saya gundah, saya menemukan jawaban yang saya butuhkan pada dirinya. Tapi, setelah gundah dan lara saya hilang, saya kembali meninggalkan dia yang melambai pelan sambil tersenyum samar. Lihat, betapa setianya ia dan betapa tidak tau terima kasihnya saya.

Saya tau ia teramat rindu pada saya.Lebih tepatnya saya  yang begitu merindu, tapi tak cukup cerdas untuk segera menyadarinya. Tak cukup pandai menghalau egoism diri untuk segera menghambur pulang ke dalam dekapannya.

SMA berakhir. Meski perkuliahan belum dimulai, saya tau tantangan di fase ini akan jauh lebih berat. Hingga minggu lalu, secara tak sengaja dalam sebuah program saya bertemu dengannya kembali, dengan niat yang berbeda-bukan niat ada maunya saja-tentu. Ia menyapa saya dengan ramah, meladeni saya, sama seperti dulu, terus ‘mengisi’ saya. Rasanya seperti bertemu kawan lama. Interaksi kami semakin intens, meski saya rasa tidak seperti dahulu di awal kami saling mengenal. Saya canggung, namun gembira. Saya malu namun tidak dapat menyembunyikan haru. Ia tersenyum melihat saya.

Benih-benih cinta itu kembali tersemai dalam hati saya. Dan dalam waktu yang bersamaan, perasaan bersalah memenuhi rongga dada saya. Betapa selama ini saya begitu berani mengabaikannya. Tangis saya pecah menyadari, bahwa saya kembali jatuh cinta padanya. Dan saya bertekad untuk terus jatuh cinta padanya. Selamanya. Tidak boleh ada kesibukan dunia yang membuat saya kembali menomor sekian-kan ia, tidak boleh lagi ada egoisme diri yang membentengi saya dari dekat padanya.

Semangat untuk mendekap secara sempurna-yang sudah lama redup-kembali menyala. Saya harus terus mencintainya, dan tak boleh bosan berpegangan padanya. Ya, dia, ayat-ayat suci indah yang selalu setia tersenyum pada saya, setia menjaga dan menjadi petunjuk hidup saya. Semoga membaca, menghafal, mengkajinya, kembali menjadi hal yang tidak asing bagi saya mulai saat ini dan seterusnya. Semoga saya pun bisa istiqomah mencintainya hingga akhir hayat saya, dan diteranginya di kala tidak ada sesiapa pun yang dapat membantu saya …

Terima kasih ya, Cinta, nggak pernah meninggalkan saya, dan saya harap Cinta nggak akan pernah meninggalkan saya..



Komentar

  1. Nice dhina! Kapan2 boleh aku share ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah alhamdulillah kalau menurut Himmah nice. tumblr mu publish dong mah.. nyehehe

      Hapus
  2. Terharu deh :”” jadi inget sekarang jarang banget ngaji

    BalasHapus
    Balasan
    1. :') iya nih usaha nya harus berkali kali lipat ya skrg kitaa

      Hapus

Posting Komentar