Sentilan untuk saya dari saya, seorang (belum) Ibu.
Sudah seminggu ini saya
menggalau. Bukan, bukan karena THR ataupun karena nggak mudik seperti tahun-tahun
sebelumnya. Melainkan karena sesuatu yang mengusik ketenangan saya: Saya
sendiri. Lebih tepatnya pemikiran saya tentang masa depan: tentang anak-anak
saya nantinya bagaimana saya mendidik nantinya. Terlalu jauh? Mungkin iya
jika dipikirkan secara menyeluruh (saya belum sejauh itu kok). Tenang, maksud
saya menulis ini bukan berarti saya ingin cepat-cepat sampai di fase itu, tapi
lebih kepada perasaan mawas diri untuk persiapan terbaik nantinya. Got my
point? Sip. Lanjut ya.
Sebenarnya ini bahasan yang amat ringan (nggak kaya’ pipi saya) tapi cukup membuat saya lama merenung, Menurut saya hal ini akan menjadi penting nantinya. Duh betapa bertele-telenya dhina. Oke saya mulai cerita aja.
Jadi, begini awalnya,
H+3 Hari Raya Iedul Fitri kemarin, saya silaturahim ke rumah salah satu sanak saudara. Nggak jauh jaraknya, kurang lebih hanya setengah jam perjalanan naik mobil pribadi. Setelah sampai di sana dan ngobrol-ngobrol cantik kurang lebih 15 menit, saudara laki-laki saya (mas Ardhi dan Dhitya) langsung terlibat obrolan asik dengan Om yang mau menikah bulan September mendatang-Boys talk. Sedangkan orang tua, keliatannya asik membahas tentang pohon keluarga, lalu apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Satu-satunya pelarian saya supaya nggak mati gaya (selain terus makanin kue suguhan yang ada di meja tamu) adalah bermain dengan anak kecil yang ada di keluarga yang kami kunjungi.
Misi dimulai. Saya mulai SKSD dengan adik cantik yang masih kelas 5 SD itu. Awalnya, malu-malu hamster . Tapi setelah saya mengerahkan usaha, dia akhirnya mulai membuka diri. Dia mulai nyaman berbincang panjang dan nempel-nempel sama saya. Sampai akhirnya, mendekati waktu dzuhur dan para laki-laki pergi ke masjid, saya pun diajaknya untuk shalat Dzuhur berjamaah di kamar. Sambil menunggu adzan berkumandang, saya ajak dia ngobrol tentang media sosial yang dia punya.Saya kemudian tau bahwa hanya Instagram yang aktif dia pakai. Lalu, saya dengan spontannya mengenalkan dia dengan snapchat dan segala keunikan filternya. Dia instantly jatuh cinta. Dia coba-coba apply setiap filter yang ada, kemudian snap dan save hasilnya. Lalu tertawa sendiri sambil menunjukkan fotonya pada saya, untuk berkomentar sendiri atau menminta pendapat saya. Saya juga ikut senang ternyata dia bisa tertawa lepas hanya karena hal kecil seperti itu. Saya merasa saya sudah memenangkan hatinya.
Setelah adzan dzuhur berkumandang, kami melaksanakan shalat dzuhur berjamaah. Selesai berjamaah, saya menanyainya tentang kebiasaan shalat rawatib di SDnya (niatnya sekaligus ngode—ngode ngajak, tapi apa daya anak kecil susah dikodein ya pemirsah :’) ) setelah menjawab polos “kadang-kadang”, dia langsung melipat mukenanya rapi. Selesai shalat rawatib, saya menengok kebelakang dan baru menyadari dia sudah duduk rapi (sidakep ala-ala anak SD mau dipilih untuk pulang duluan dari kelas) dan langsung berkata “Ayo, kita foto-foto lagi..” Tentu saja saya mengiyakan sambil melipat mukena.
Saya ambil ponsel pintar saya, dan memberikan padanya (snapchat mode). Wus. Perhatiannya langsung teralihkan 85% sehingga nggak mendengarkan ocehan saya lagi. Di sinilah saya berpikir.
Adanya gadget berisi aplikasi, games, dan fitur-fitur menarik (tidak sedikit memang yang mendidik) menurut saya akan mempermudah tugas orang tua. Tinggal menyodorkan smartphone dan mengajarinya di awal, bisa membuat orang tua menghapus perasaan cemas dan was was yang timbul ketika anak bermain bola keluar rumah. Bisa membuat anak anteng seharian ketika dibawa ke kantor tanpa harus khawatir anak tiba-tiba menghilang dan berkeliaran di luar seperti Baby Days Out punya kisah. Dengan bahasa inggris yang ada di aplikasi, anak juga bisa mengakselerasi pembelajaran karena language acquirement yang mungkin tidak sengaja dilalui. Belum lagi apabila orang tua lelah dengan seabreg tugas ‘orang dewasa’ dan anak merengek minta digendong diputar-putar bagai pesawat, Bukankan kita sama-sama tau kalau bujukan maut Ibu dan rayuan Ayah belum tentu selalu berhasil? Smartphone bisa jadi pemberi ketenangan. Pengalih perhatian. Dan pemberi kebahagiaan. Melihat anaknya ceria, siapa yang tidak bahagia? Walaupun saya yakin, pasti aka nada titik jenuh juga sebetulnya.
Tapi di sisi lain, ada hal yang hilang etika waktu anak tersedot oleh hal-hal canggih ini. Belum lagi efek yang bisa jadi timbul terutama untuk anak-anak di bawah umur terkait kesehatan. Ketergantungan tingkat akut bisa saja berkonsekuensi pada kesuksesan kehidupan sosial anak di masa depan. Banyak hal yang membuat ‘ini’ terasa menjadikan hal-hal rumit lebih mudah, tapi banyak hal kurang baik yang juga tengah bersembunyi di baliknya, menunggu tanggal main.
Lately, saya banyak melihat snapgram (instastory) yang menunjukkan wajah kagum anak-anak kecil melihat wajahnya tiba-tiba punya kuping panjang dan moncong imut khas kelinci karena filter yang ada. Kemudian anak kecil tersebut tertawa minta lagi dan lagi. Dan itu bisa menjadi jembatan pengakraban diri antara dedek emesh tersebut dan empunya akun. Persis seperti yang saya lakukan dengan dedek dalam kisah di atas. :'
Saya… saya… speechless.
When the things get more
serious, I can’t find any words decent.
Jadi, ya begitu. Saya sekarang jadi bertanya-tanya. Akan seperti apa saya sebagai Ibu nantinya seiring berkembangnya zaman. Apakah Ibu yang mengambil konsekuensi untuk berlelah parah dengan konservatisme ideal yang dibangun-menyeimbangkan kesibukan lain tanpa mengabaikan hak mereka. Atau ibu sukses dengan tenaga terkuras yang mencari cara ‘kekinian’ untuk menuntaskan tugas utamanya? Ahh~
You know what I mean :’
NB
:Artikel ini premature. Ada bagian yang tersunting, terpotong, tidak lengkap,
dan tidak gamblang. Mohon maaf, dan semoga tidak ada salah paham :3
00.04
4
Juli 2017
Bandung
Barat
Mau gimanapun, dhina mah pasti bakal jadi ibu yang baik. No doubt about that.
BalasHapusaamiin ya Rabb! doa baik terpantul ke yang mendoakan! tuing!
Hapus