Paragraf Emosi

Saya nggak pernah terpaut suatu perasaan yang berlebihan terhadap seorang insan. Pengecualian hanya terjadi untuk orang-orang yang mengalir darahnya dalam diri saya. Pun saya nggak pernah secara emosional merasa menjadi bagian dari sebuah kelompok, karena prinsip saya sejak dulu, semua yang kini ada pasti berakhir juga. Perkenalan saya dengan pertemuan pasti membawa saya pada kawannya: perpisahan, dan pada akhirnya pertemuan akan selalu lapang hati mengalah dan membiarkan kawannya itu menang. Bahwa  semua awal menjanjikan saya akhir. Tidak ada yang hadir selamanya. Sehingga menambatkan hati kepada sesuatu hanya akan membuat saya dikecewakan oleh diri saya sendiri.

Tapi, entah mengapa saya merasakan hal yang berbeda belakangan ini. Ketika mendengar nama itu tengah dijadikan bahan pembicaraan, dipandang sebelah mata, dibeberkan kekurangannya lalu dijadikan contoh untuk tidak ditiru  oleh adik-adiknya. Saya sakit. Ini pertama kalinya saya bersatu dengan air mata untuk perihal yang bahkan saya sendiri yakin; bukan kepada saya pribadi semua komentar dan pandangan negatif itu ditujukan.

Saya memang masih muda. Tetapi saya selalu memaksa diri untuk memahami betapa sulitnya menyatukan pandangan dalam rangka membentuk sebuah kelompok ideal. Hei, bukankah kita semua berasal dari berbagai latar belakang? Mungkin semua pernah mendengar, dalam unsur instrinsik cerpen saja, latar masih terbagi ke dalam beberapa bagian: latar tempat, latar waktu, latar suasana, dan latar lainnya. Lalu, sudah bisa dibayangkan latar yang ada di pundak masing-masing kami? Latar belakang pendidikan, keluarga, budaya, suku, daerah, kebiasaan. Masih berpikir untuk memukul rata plek penilaian tanpa melihat itu semua? Saya kembali menopang dagu.

Saya selalu yakin bahwa pendidikan adalah sebuah proses panjang. Bahkan dalam syair kitab ta’lim muta’alim pun disebutkan dua diantara syarat menuntut ilmu yaitu waktu yang lama  dan kesabaran. Tiga tahun proses hanyalah1/21 dari proses belajar rata-rata manusia pada umumnya: 63 tahun. Tidak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia yang sempurna. Dan kami jauh dari pengecualian..

Doakan kami untuk senantiasa menjadi insan yang lebih baik. Yang belajar dari hari kemarin untuk menjadi lebih baik hari ini dan jauh lebih baik di hari esok. Semoga kesalahan kami yang telah lalu tiada menjadi alasan kebencian. Melainkan mengagungkan setiap insan yang dulu melihat, menjadi saksi bahwa kami terus berbenah diri dan terus menjadi insan yang lebih baik lagi.


Terima kasih atas pelajaran berharganya, saya kini tahu bahwa lidah memang setajam belati.  



Komentar

Posting Komentar