Homestay 1: Kesepakatan Keluarga Kaori-san


Senja itu, akhir hari pertama dari tiga hari perjalanan kami dalam rangkaian homestay bersama Kaori-san dan keluarganya. Aku duduk di jok depan, menemani ibu yang berusia 30-an ini menyetir menuju kearah rumahnya. Jarak antara Beppu – Saiki bisa ditempuh dalam 1 jam 30 menit dengan mobil.

Matahari sudah terbenam, ketiga putra beliau-Haru-chan, Dai-chan, Sumi-chan-yang duduk di jok tengah dan belakang bersama Arrin dan Nanda tampak tertidur.  Arrin dan Nanda, teman-teman yang mengajakku bertemu dengan keluarga ini juga nampaknya kelelahan.  Tampak Arrin tertidur pulas bersama Sumi-chan, si bungsu yang ceria di pelukannya. Aku lega Arrin memutuskan untuk mengajakku dalam pertemuan ini.

“Tahun lalu saya pernah mengikuti kegiatan Homestay serupa. Di daerah Usuki. Kalau tidak salah, lokasinya tidak jauh dari sini ya, Kaori-san?” tanyaku di sela pembicaraan kami tentang Negara-negara Asia. Sebelumnya beliau bercerita bahwa ia dan keluarganya ingin mengunjungi Malaysia di musim panas mendatang.

“Ah, benarkah? Dhina-chan sudah pernah datang ke Jepang sebelumnya?” beliau menoleh sebentar sembari tersenyum kemudian kembali fokus menatap jalanan.

“Iya. Dulu saya ikut summer-camp. Dan program homestaynya termasuk dalam program yang ditawarkan di dalamnya. Usuki memang daerah pedalaman, tapi saya suka. Orang-orangnya ramah” aku memutar kembali memoriku di 2016, kala tinggal di rumah Kadota-san. Mereka adalah sepasang suami istri yang mengabdikan diri untuk kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat seperti itu.

“Senang ya.. Jarak Usuki dari Saiki hanya satu jam naik mobil. Kalau dhina-chan mau, besok-besok kita bisa kesana.”

“Kami senang kok, kemanapun Kaori-san membawa kami.” Jawabku sungkan.

Bagaimana tidak, di hari pertama ini saja beliau sudah merogoh kocek tidak sedikit untuk kami;orang-orang yang baru saja dikenalnya tujuh jam yang lalu. Mulai dari menjemput kami ke depan asrama kampus di Beppu, membayari kami mengunjungi African Safari zoo, melakukan ice skating, mencicipi berbagai makanan, dan lain sebagainya.  Sedangkan kami belum tau kepastian berapa nominal yang harus kami “bayar”kan karena memang pada umumnya kegiatan homestay seperti ini tidak gratis.

“Ah, begitu ya? Baiklah kalau begitu. Besok jangan terburu-buru ya. Tidur saja yang cukup. Mungkin kita baru akan berangkat sekitar jam sepuluh.” Kaori-san kembali menyungging senyum. Beliau kemudian bercerita bahwa sejak ia hanya memiliki Haru-chan-putri pertamanya, hingga kini putri ketiganya berusia 5 tahun, keluarga mereka sudah lebih dari 4 kali menerima tamu homestay. Beliau mendapat akses orang-orang multi negara tersebut karena beliau anggota dari sebuah komunitas yang mengorganisasi kegiatan homestay dan kegiatan serupa lainnya.

“Wah, begitu? Tamu Australia itu tinggal di rumah Kaori-san selama satu bulan ?! Lama sekali ya.. Berarti program dan pembayaran disesuaikan dengan lama tinggal juga ya kalau begitu?” responku atas salah satu kalimatnya. 

Beliau menggeleng.

“Komunitas-komunitas itu memang menetapkan biaya untuk kegiatan seperti ini. Tapi keluarga saya, tidak ingin melakukan hal seperti itu. Makanya saya keluar dari komunitas tersebut. Saya ingin melakukan semua ini secara sukarela.” Mukanya mendadak serius, tapi masih dengan raut ramah yang sama.

“Gratis, Kaori-san?” aku terkejut.
“Lalu apakah kami…?” aku bingung hendak bertanya tentang pembayaran kegiatan kami tapi lupa bahasa jepang dari salah satu kosa kata yang aku hendak katakan. 

“Kalian sudah khawatir tentang itu ya?” beliau bertanya sambil melirikku.
Aku mengangguk tersipu. Aku merasa sungkan sekali untuk menerima semua pemberian beliau jika tidak membayar sepeserpun. Tetapi aku juga khawatir apabila tiba-tiba total nominalnya melebihi batas 'aman' dompet kami, para mahasiswi rantau.

“Dhina-chan.. 
Saya dan Papanya anak-anak sudah sepakat sejak awal. Definisi kebahagiaan itu bukan dari seberapa banyak  uang yang kami miliki. Tapi dari quality time bersama keluarga, pengalaman.. Yah seperti apa yang sekarang kita lakukan, Dhina-chan.” Beliau tersenyum. Kemudian menyampaikan beberapa patah kata untuk meyakinkan kami untuk tidak khawatir akan biaya.

“Papa adalah kepala dokter di Saiki. Beliau bekerja setiap hari, dari pukul 7 pagi hingga 7 malam. Jadi kami membagi tugas. Beliau yang mencari penghidupan, dan saya yang mengajak anak anak bermain dan belajar, mengedukasi. Dengan kegiatan-kegiatan seperti ini, pikiran mereka semakin luas. Mereka tidak takut bertemu dengan orang baru yang berbeda dengan kita. Karena sebenarnya kita tidak hidup sendiri di dunia ini..”

Mataku sembab. Aku terenyuh sekali mendengarnya.

“Kaori-san dan keluarga hebat sekali..” aku memandangnya sesaat sebelum menyentuhkan jemariku ke pelupuk mata.

Mobil yang kami naiki terus melaju di jalan tol Beppu-Saiki. Waktu menunjukkan pukul 19.32 dan kami masih berjarak tiga puluh menit dari tujuan. Aku tidak sabar dengan apa yang hari esok punya untuk kami..




Komentar

  1. I adore her way of living. Bener bgt kalo uang itu bukan tolak ukur kebahagiaan seseorang. Melainkan pengalaman dan memori yang dia punya. Makanya aku bersikeras bgt kalo ngasih kado ke orang, gamau ngasih kado fisik, tapi misalnya kubawa dia ke suatu tempat gitu.
    Tapi ya, emang tetep butuh uang sih haha.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar